TUGAS TERSTRUKTUR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PEMBANGUNAN MASYARAKAT
Oleh :
Rini Puji Lestari
NIM. H1K011001
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
Konsep pembangunan biasanya melekat dalam
konteks kajian suatu perubahan, pembangunan disini diartikan sebagaiu bentuk
perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap orang atau kelompok orang tentu
akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk lebih baik bahkan sempurna
dari keadaan yang sebelumnya; untuk mewujudkan harapan ini tentu harus
memerlukan suatu perencanaan. Selo Soemardjan (1974) menyatakan bahwa perubahan
yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau
yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan
perubahan di dalam masyarakat (Soemardjan-Soemardi, 1974).
Keaneka-ragaman,
etnik, ras, kelompok, dan agama dengan bentuk dan tingkat kehidupan yang
berbeda dalam masyarakat ini secara langsung maupun tidak langsung mendorong
timbulnya perubahan dalam masyarakat
sendiri atau menurut orientasinya ke luar masyarakat. Kurangnya
komunikasi yang terjadi antara para penentu kebijakan dengan rakyak kebanyakan,
menyebabkan model atau bentuk pembangunan yang diterapkan lebih memperlihatkan
suatu model ‘top-down planning’ yang menurut satu kondisi dianggap lebih baik,
namun dari sisi yang lain memberikan dampak yang kurang diharapkan; sejauh
perkembangan masyarakat yang ada, ternyata sisi ke dua inilah yang dirasakan
lebih memperlihatkan substansinya dalam masyarakat Indonesia ini. Dalam
perkembangan lebih lanjut, suatu proses pembangunan dapat dijadikan sebagai suatu
ukuran untuk menilai sejauh mana nilai-nilai dasar masyarakat yang terlibat dalam
proses ini bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai
masalah dari dinamika masyarakatnya.
Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk
mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran
agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi
salah satu tema utama pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan
acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan
Sumarto, 2001). Dalam upaya
penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama,
melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan
pokok mereka. Kedua, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan untuk
melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru (UU No. 25 Tahun 2000
tentang Propenas).
Menurut
Remi dan Tjiptoherijanto (2002), program pengentasan kemiskinan yang dijalankan
mendapatkan kritik antara lain tentang transparansi program, dana yang
kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang ditargetkan. Program tersebut
masih merupakan kebijakan yang terpusat dan seragam dan memposisikan masyarakat
sebagai obyek dalam keseluruhan proses ( Kementrian Kokesra, 2004). Upaya
pengentasan kemiskinan perlu tertuang dalam tiga arah kebijaksanaan, yaitu
kebijaksanaan tidak langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif,
kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada masyarakat miskin dan
kebijaksanaan khusus untuk memperluas upaya penanggulangan kemiskinan
(Soegijoko, 1997:148).
Tujuan pembuatan tugas terstruktur ini adalah untuk mengetahui
aspek-aspek dalam pembangunan masyarakat.
2.1.1. Pengertian Pembangunan Masyarakat
Pembangunan
Masyarakat/Pembangunan Komunitas adalah suatu proses aktualisasi diri melalui
usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan dalam rangka
memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya untuk memandirikan masyarakat
sasaran. Menurut Soetomo (2008), Pembangunan Masyarakat
adalah proses perubahan yang bersifat multi dimensi menuju kondisi semakin
terwujudnya hubungan yang serasi antara need
and reseouces melalui pengembangan kapasitas masyarakat untuk membangun.
Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat
dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat
yang dicita-citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan
antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat
(Djojonegoro, 1996). Konsep
pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat
(community-based development). Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah
pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk
mengarahkan, membimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang.
Secara umum
pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan
pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan
kualaitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan
pembangunan sebelumnya
(Arif dan bambang, 2008).
Tingkat perkembangan masyarakat
sebenarnya bisa diukur dari besarnya dorongan untuk berprestasi dalam
masyarakat itu sendiri. Bentuknya bisa dari perbandingan antara tingkat produksi dengan tingkat konsumsi, masyarakat yang
tidak ‘membangun’ adalah suatu bentuk kehidupan yang tingkat konsumsinya lebih
besar dari tingkat produksinya. Selo Soemardjan (1974) menyatakan bahwa
perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang
diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang
hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.
Faktor Pendukung dan Penghalang Proses
Perubahan :
1. Faktor Pendukung Proses Perubahan
pembangunan masyarakat
Terjadinya suatu
proses perubahan pada masyarakat, diakibatkan adanya faktor yang mendorongnya,
sehingga menyebabkan timbulnya perubahan. Faktor pendorong tersebut menurut
Soerjono Soekanto antara lain:
·
Kontak dengan kebudayaan lain.
Salah
satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion (difusi). Difusi adalah proses
penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain. Dengan
proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru yang
telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah
diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebar luaskan kepada semua
masyarakat, hingga seluruh masyarakat dapat merasakan manfaatnya.Proses difusi
dapat menyebabkan lancarnya proses perubahan, karena difusi memperkaya dan
menambah unsur-unsur kebudayaan yang seringkali memerlukan perubahan-perubahan
dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang lama dengan yang baru.
·
Sistem
pendidikan formal yang maju
Pada
dasarnya pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi individu, untuk
memberikan wawasan serta menerima hal-hal baru, juga memberikan bagaimana
caranya dapat berfikir secara ilmiah. Pendidikan juga mengajarkan kepada
individu untuk dapat berfikir secara obyektif. Hal seperti ini akan dapat
membantu setiap manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan
dapat memenuh kebutuhan zaman atau tidak.
·
Sikap menghargai hasil karya seseorang dan
keinginan untuk maju
Bila
sikap itu telah dikenal secara luas oleh masyarakat, maka masyarakat akan dapat
menjadi pendorong bagi terjadinya penemuan-penemuan baru. Contohnya hadiah
nobel, menjadi pendorong untuk melahirkan karya-karya yang belum pernah dibuat.
·
Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang
menyimpang (deviation)
Adanya
toleransi tersebut berakibat perbuatan-perbuatan yang menyimpang itu akan
melembaga, dan akhirnya dapat menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan
oleh masyarakat.
·
Sistem terbuka pada lapisan masyarakat
Adanya
system yang terbuka di dalam lapisan masyarakat akan dapat menimbulkan terdapatnya
gerak social vertical yang luas atau berarti member kesempatan kepada para
individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. Hal seperti ini akan
berakibat seseorang mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang memiliki
status yang lebih tinggi. Identifikasi adalah suatu tingkah laku dari
seseorang, hingga orang tersebut merasa memiliki kedudukan yang sama dengan
orang yang dianggapnya memiliki golongan yang lebih tinggi. Hal ini
dilakukannya agar ia dapat diperlakukan sama dengan orang yang dianggapnya
memiliki status yang tinggi tersebut.
·
Adanya penduduk yang heterogen
Terdapatnya
penduduk yang memiliki latar belakang kelompok-kelompok social yang
berbeda-beda, misalnya ideology, ras yang berbeda akan mudah menyulut
terjadinya konflik. Terjdinya konflik ini akan dapat menjadi pendorong
perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat.
·
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang
kehidupan tertentu
Terjadinya
ketidakpuasan dalam masyarakat, dan berlangsung dalam waktu yang panjang, juga
akan mengakibatkan revolusi dalam kehidupan masyarakat.
·
Adanya
orientasi ke masa depan
Terdapatnya
pemikiran-pemikiran yang mengutamakan masa yang akan datang, dapat berakibat
mulai terjadinya perubahan-perubahan dalam system social yang ada. Karena apa
yang dilakukan harus diorientasikan pada perubahan di masa yang akan datang.
2. Faktor
penghalang/penghambat perubahan pembangunan masyarakat
Di dalam proses
perubhan tidak selamanya hanya terdapat faktor pendorong saja, tetapi juga ada
faktor penghambat terjadinya proses perubahan tersebut. Faktor penghalang
tersebut antara lain:
·
Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
Terlambatnya ilmu pengetahuan dapat diakibatkan karena suatu masyarakat
tersebut hidup dalam keterasingan dan dapat pula karena ditindas oleh masyarakat
lain.
·
Sikap
masyarakat yang tradisional
Adanya suatu sikap yang membanggakan dan memperthankan tradisi-tradisi lama
dari suatu masyarakat akan berpengaruh pada terjadinya proses perubahan. Karena
adanya anggapan bahwa perubahan yang akan terjadi belum tentu lebih baik dari
yang sudah ada.
·
Adanya kepentingan yang telah tertanam dengan
kuatnya.
Organisasi sosial yang telah mengenal system lapisan dapat dipastikan akan ada
sekelompok individu yang memanfaatkan kedudukan dalam proses perubahan tersebut.
Contoh, dalam masyarakat feodal dan juga pada masyarakat yang sedang mengalami
transisi. Pada masyarakat yang mengalami transisi, tentunya ada
golongan-golongan dalam masyarakat yang dianggap sebagai pelopor proses
transisi. Karena selalu mengidentifikasi diri dengan usaha-usaha dan
jasa-jasanya, sulit bagi mereka untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu
proses perubahan.
·
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
Hal ini biasanya terjadi dalam suatu masyarakat yang kehidupannya terasing,
yang membawa akibat suatu masyarakat tidak akan mengetahui terjadinya
perkenmbangan-perkembangan yang ada pada masyarakat yang lainnya. Jadi
masyarakat tersebut tidak mendapatkan bahan perbandingan yang lebih baik untuk
dapat dibandingkan dengan pola-pola yang telah ada pada masyarakat tersebut.
·
Adanya prasangka buruk terhadap hal-hal baru.
Anggapan seperti inibiasanya terjadi pada masyarakat yang pernah mengalami hal
yang pahit dari suatu masyarakat yang lain. Jadi bila hal-hal yang baru dan
berasal dari masyarakat-masyarakat yang pernah membuat suatu masyarakat
tersebut menderita, maka masyarakat ituakan memiliki prasangka buruk terhadap
hal yang baru tersebut. Karena adanya kekhawatiran kalau hal yang baru tersebut
diikuti dapat menimbulkan kepahitan atau penderitaan lagi.
·
Adanya hambatan yang bersifat ideologis.
Hambatan ini biasanya terjadi pada adanya usaha-usaha untuk merubah unsur-unsur
kebudayaan rohaniah. Karena akan diartikan sebagai usaha yang bertentangan
dengan ideologi masyarakat yang telah menjadi dasar yang kokoh bagi masyarakat
tersebut.
·
Adat atau kebiasaan
Biasanya pola perilaku yang sudah menjadi adat bagi suatu masyarakat akan
selalu dipatuhi dan dijalankan dengan baik. Dan apabila pola perilaku yang
sudah menjadi adat tersebut sudah tidak dapat lagi digunakan, maka akan sulit
untuk merubahnya, karena masyarakat tersebut akan mempertahankan alat, yang
dianggapnya telah membawa sesuatu yang baik bagi pendahulu-pendahulunya.
Faktor-faktor
yang menghalangi terjadinya proses perubahan tersebut, secara umum memang akan
merugikan masyarakat itu sendiri. Karena setiap anggota dari suatu masyarakat
umumnya memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang
sudah didapatnya. Hal tersebut tidak akan diperolehnya jika masyarakat tersebut
tidak mendapatkan adanya perubahan-perubahan dan hal-hal yang baru. Faktor
penghambat dari proses perubahan social ini, oleh Margono Slamet dikatakannya
sebagai kekuatan pengganggu atau kekuatan bertahan yang ada di dalam
masyarakat.
2.2.1 Dinamika Kelompok.
Dinamika
kelompok adalah suatu kelompok yang terdiri dari
dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologis secara jelas
antara anggota satu dengan yang lain dan berlangsung dalam situasi yang dialami. Menurut Theodore M. Mills( 1967), Suatu kelompok
dapat dinamakan kelompok sosial, apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki motif yang sama antara individu satu
dengan yang lain (menyebabkan interkasi/kerjasama untuk mencapai tujuan yang
sama).
2. Terdapat akibat-akibat interaksi
yang berlainan antara individu satu dengan yang lain (akibat yang ditimbulkan
tergantung rasa dan kecakapan individu yang terlibat).
3. Adanya penugasan dan
pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan serta
kedudukan masing-masing.
Tujuan
yang ingin dicapai dari pemberdayaan
masyarakat adalah membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri.
Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan
apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang
dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan
serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang
dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik, dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik atau
material. Pelaku pemberdayaan harus dapat berperan sebagai motivator, mediator,
dan fasilitator yang baik.
Kelompok Primer merupakan
kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan
erat dalam kehidupan (Theodore M. Mills, 1967).
Sedangkan menurut Goerge
Homans (1950),
kelompok
primer merupakan
sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang sering berkomunikasi
dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung
(bertatap muka) tanpa melalui perantara.
2.2.2
Komunitas Memiliki Otonomi
Setiap komunitas perlu diberikan
kewenangan agar mampu untuk mengurusi kepentingannya sendiri secara bertanggung
jawab. Pemberian kewenangan otonomi harus berdasarkan asas desentralisasi dan
dilaksanakan dengan prinsip luas, nyata, dan bertanggungjawab (Hari Sabarno,
2007).
Menurut Hari Sabarno (2007),
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
seluruh bidang pemerintahan yang
dikecualikan pada bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, dan agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional
dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional.
2.2.3
Komunitas Memiliki Validasi
Validasi
adalah suatu tindakan yang membuktikan bahwa suatu proses/metode dapat
memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan
dan terdokumentasi dengan baik. Menurut Tjokrowinoto (2001), bentuk-bentuk kemampuan yang
relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan yakni:
1. Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang
ada,
2.
Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang dianggap prioritas
dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang mempunyai potensi memberikan
input dan sumber bagi proses pembangunan,
3.
Kemampuan menjual inovasi dan memperluas
wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan
4. Kemampuan memainkan peranan sebagai
fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang
dengan kekuatan sendiri.
2.2.4 Distribusi Kekuasaan yang
Merata
Kekuasaan adalah
kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak
boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh (Stanley et al,
1974). Dalam suatu kelompok organisasi maupun komunitas pasti ada salah
satu yang berkuasa atau menjabat peranan penting. Dalam hal ini “distribusi
kekuasan yang merata” yaitu dimana dalam suatu kelompok organisasi maupun
komunitas alangkah baiknya apabila individu yang memegang peranan penting tidak
mempergunakan kekusaanya dengan semena-mena. Sehingga tidak terjadinya suatu
permasalahan dalam suatu kelompok/organisasi seperti itu. Pemegang kuasa
haruslah mendengarkan aspirasi/pendapat dari anggotanya.
2.2.5
Berpartisipasi Aktif
Dalam
partisipasi itu ada keteribatan masyarakat secara aktif melalui tahapan-tahapan
dari mulai perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian yang pada akhirnya akan
memberikan masukan berupa tenaga, uang maupun material. Pentingnya keterlibatan
atau partisipasi secara aktif dalam suatu organisasi atau komunitas masyarakat
dimana agar peranan setiap anggota masyarakat tersebut diharapkan dapat
memberikan efek yang sangat baik sesuai dengan apa yang diinginkan setiap
kalangan.
Menurut
Sastropetra (1986 : 52) bahwa “Partisipasi merupakan keterlibatan spontan
dengan kesadaran disertai dengan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok
untuk mencapai tujuan bersama”. Menurut Pasaribu dan Simanjuntak (1986 : 65)
membagi jenis partisipasi menjadi 5 jenis yaitu :
a.
Partisipasi buah pikiran; diberikan orang pada
waktu rapat pertemuan dengan member saran-saran, pendapat, nasehat, gagasan,
ide, pemikiran dan sejenisnya.
b.
Partisipasi tenaga; diberikan dalam berbagai
kegiatan untuk perbaikan,pertolongan, bagi orang lain dengan caran menyumbang
tenaga dalam kegiatan tersebut.
c.
Partisipasi harta benda; diberikan dalam
berbagai kegiatan untuk perbaikan pertolongan, bagi orang lain dengan cara
menyumbangkan materi, uang/harta benda yang dimiliki.
d.
Partisipasi keterampilan dengan kemahiran diberikan
orang untuk mendorong aneka rafam bentuk usaha dan industry dengan cara anta
lain mencari penciptaan produk-produk baru yang disebut inovatif, dan
e.
Partisipasi sosial, diberikan orang sebagai
tanda paguyuban, melalui turut dalam arisan koperasi dan sebagainya.
2.2.6
Komunitas Memberikan Makna Kepada Setiap
Anggotanya
Dalam
perjalanan suatu komunitas atau organisasi ada banyak hal yang dilakukan dan
diterapkan. Hal-hal yang dilakukan dan diterapkan itulah yang terkadang selalu
memberikan dampak atau efek tersendiri bagi setiap anggota dalam suatu
komunitas atau kelompok masyarakat. Makna dari itu alangkah baiknya setiap
komunitas memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada anggotanya agar tercapainya
makna yang ingin dicapai dan dapat dijalankan oleh setiap anggotanya.
2.2.7
Heterogenitas
Heterogenitas
adalah permasalahan yang memang selalu ada dalam kehidupan ini. Masyarakat
terbentuk karena adanya perbedaan, sementara perbedaan sendiri menjadikan
kehidupan dalam bermasyarakat menjadi lebih hidup, lebih menarik dan layak
untuk diperbincangkan.
Dalam suatu kelompok organisasi ataupun
komunitas heterogenitas dapat dikaitkan kedalan suatu perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat inilah yang terkadang menjadi momok yang selalu dihindari
dalam suatu kelompok organisasi atau komunitas. Tapi hal itu tidak akan mungkin
bisa untuk dihindari, karena hal tersebut yang sebenarnya membuat setiap
anggota memiliki pemikiran yang kritis, dengan maksud dan tujuan yang
sebenarnya bukan untuk kepentingan pribadi melainkan kepentingan bersama dengan
suatu capaian yang diinginkan bersama. Tidak menepis kemungkinan suatu
heterogenitas atau perbedaan dapat menjadikan suatu hubungan menjadi lebih
erat, hal tersebut tergantung masing-masing pihak memandang makna dari
“Heterogenitas” itu sendiri, ada yang memandang heterogenenitas adalah awal
suatu perpecahan adapula yang beranggapan bahwa heterogenitas itu awal dari
suatu persatuan yang sangat kuat.
2.2.8
Pelayanan
Masyarakat Diutamakan
Sianipar (1998:4), mengatakan
bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan atau mengurus
keperluan seseorang atau kelompok orang. Melayani adalah meladeni/membantu
mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan sampai
penyampaian atau penyerahannya. Menurut Moenir (1998:26), pelayanan umum adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan
faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha
memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.
Berkaitan dengan pelayanan masyarakat,
dalam menyongsong era globalisasi, pemerintah harus mempersiapkan seluruh
aparatnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan sopan santun dalam melayani
masyarakat. Setiap orang menginginkan jasa pelayanan yang diterima dan yang
dirasakan sesuai dengan harapannya. Secara umum masyarakat menginginkan
pelayanan yang sama dari apartur pemerintah, sebab warga negara yang mempunyai
kedudukan yang sama didalam hukum berhak mendapatkan pelayanan yang sama.
Pelayanan yang bersahabat dan profesional sudah menjadi suatu syarat yang harus
dipenuhi oleh para penyelenggara pekerjaan administrasi negara (Waworuntu,
1997:18).
Pelayanan dilaksanakan dalam
suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar,
tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur dasar,
sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun
penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing
pihak.
b. Mutu proses dari hasil
pelayanan harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan,
kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. (Menpan, 1993:4).
2.2.9
Managing Conflict/Manageman konflik
Istilah manajemen berasal
dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam Mardianto, 2000) yang berarti
melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang berarti
mengendalikan, sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadily,
2000) management berarti pengelolaan dan istilah manager berarti
tindakan membimbing atau memimpin. Secara definitif konflik memiliki pengertian
yang berbeda-beda, demikian juga para ahli dalam memberikan definisi konflik
tidak ada yang sama, karena sudut pandang mereka yang berbeda. Kata konflik
berasal dari kata confligere, conflictum yang berarti saling berbenturan. Arti
kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi
yang antagonis (Kartono, 1998).
Setiap kelompok dalam satu organisasi,
dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan
lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan
staf, staf dengan pasen, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter,
maupun dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat
memicu terjadinya konflik. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan
manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai,
ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja.
Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya
kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan
kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja
organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang
disengaja maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi,
kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu
perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru,
persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai
macam kepribadian individu. Maka dari itu managing conflict atau
manajeman konflik sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew,
Webster (1984). “Introduction to the Sociology of Development”.
Cambridge: Macmillan.
Anshori,
Dadang S. 2010. Hakikat
Pembangunan Pendidikan dalam Menciptakan Sumber Daya Manusia dan Kepemimpinan
Generasi Muda. Makalah. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar
Ringkas, Bandung: Armico
Arifianto,
Alex. 2004. Reformasi Sistem
Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas
Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (RUU
Jamsosnas). Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Arif Budimanta
dan Bambang Rudito, Metode dan Teknik Pengelolaan Community
Development,cet. Ke II (Jakarta: CSD, 2008), hal. 33.
Badruddin,
Syamsiah. 2009. Teori dan Indikator Pembangunan. http://profsyamsiah.
Wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/#comment-40, (diakses pada 13
Desember 2012).
Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre
Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan
Dan Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta:
Pustaka Pulsar.
Cholisin.
2011. Pemberdayaan Masyarakat. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri
Yogyakarta
Curtis,
Dan B., Floyd, James J., Winsor, Jerry L., 2005, Komunikasi Bisnis dan
Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Deddy
Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Hal. 62
Djojonegoro, W. (1996).
Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia, Depdikbud.
Farida,
M. 2012. Pemberdayaan Industri Olahraga dalam Mengahadapi Pasar Bebas. Hal
1-27.
_______
. 2012.
Pemberdayaan Globalisasi Industri Olahraga dalam Menghadapi Pasar Bebas.
Frank,
Andre Gunder. (1984). “Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan
Sosiologi”. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Galtung,
Johan. (1980). “Why the Concern with Ways of Life”, GDIP Project, Oslo: United
Nation University.
George C. Homans, The
Human Group (New York: Harcourt, Brace and Company, 1950), hlm. 23.
Hadi,
Agus Purbathin. 2009 Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat
di Indonesia. Pusat Pengembangan
Masyarakat Agrikarya (PMMA).
Hartoto. 2008. Pendidikan dan
Hubungan Antar Kelompok. Makalah.
Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Makassar.
ILO.
2008. Jaminan Sosial: Konsensus Baru. Cetakan
I. Katalog. Jakarta: ILO
Publications, International Labour Office.
Kartasasmita,
Ginandjar. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada
Masyarakat. Hal. 1-25.
Mustofa,
Mohamad Afif. 2011. Modul Konsep Individu, Kelompok dan Masyarakat. Hal 1-10.
Naylil.
2012. Peduli Kesehatan: Definisi Sehat. http://naylil.student.umm.ac.id/about/,
(diakses pada 24 Desember 2012)
Ndraha,
Taliziduhu, 2003, Kronologi (Ilmu
Pemerintahan Baru) Direksi Cipta, Jakarta.
Paramita,
A. dan Weny Lestari. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan di Era
Otonomi Daerah. Hal 318-324.
Priyatna,
A. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Pengukuran Keberdayaan
Komunitas Lokal. Hal 1-12.
Soemardjan, Selo dan
Soleman, Soemardi (ed) (1974) Setangkai
Bunga Sosiologi.
Jakarta:
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI
Soetomo. 2008.
Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Theodore M. Mills, 1967. The Sociology of Small Groups. New
Jersey: Prentice Hall, Inc. Page. 3-35.
Widiowati,
Didiet. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jenderal DPR RI.
Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi,
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.